Kalau kamu pernah lihat bangunan tua di Kalimantan atau Sulawesi yang masih berdiri tegak meski sudah puluhan tahun, kemungkinan besar itu dibuat dari kayu bengkirai atau ulin. Tapi kalau ditanya, kayu bengkirai atau ulin-mana yang lebih kuat? Jawabannya tidak sesederhana yang kamu kira. Banyak orang langsung bilang ulin paling kuat, tapi itu tidak selalu benar. Di lapangan, banyak proyek konstruksi besar justru memilih bengkirai karena alasan yang jauh lebih praktis.
Apa Itu Kayu Bengkirai?
Kayu bengkirai, atau dalam nama ilmiahnya Shorea balanocarpoides, tumbuh di hutan tropis Kalimantan dan Sumatra. Ini bukan kayu biasa. Kayu ini punya densitas sekitar 0,85-0,95 g/cm³, yang artinya lebih padat daripada kebanyakan kayu keras di dunia. Kepadatan tinggi ini membuatnya sangat tahan terhadap tekanan, benturan, dan bahkan serangan serangga seperti rayap. Di lapangan, bengkirai bisa bertahan lebih dari 50 tahun tanpa perawatan khusus jika dipakai untuk tiang rumah, jembatan, atau lantai.
Warnanya coklat kekuningan, teksturnya halus tapi padat. Kalau kamu pernah meraba permukaan lantai kayu bengkirai yang sudah diampelas, kamu akan merasakan sensasi seperti menyentuh batu-keras, dingin, dan tidak berpori. Ini bukan karena cat atau pelapis. Ini karena struktur seratnya alami.
Kayu Ulin: Legenda Hutan Kalimantan
Ulin, atau Eusideroxylon zwageri, sering disebut sebagai "besi hutan". Nama itu bukan sekadar jargon. Ulin punya densitas rata-rata 1,1-1,3 g/cm³, jauh lebih berat daripada bengkirai. Ini artinya, satu meter kubik ulin bisa beratnya lebih dari satu ton. Kayu ini begitu kerasnya, kamu bisa pakai paku biasa untuk menancapkannya-tapi kamu harus bor dulu. Kalau tidak, paku akan bengkok atau kayu retak.
Ulin tahan terhadap air laut, jamur, dan bahkan api. Di pelabuhan Samarinda, banyak dermaga tua yang masih berdiri karena menggunakan ulin sebagai tiang pancang. Beberapa kapal tradisional Bugis di Sulawesi juga masih memakai ulin untuk bagian lambung karena tidak mudah rusak oleh terumbu karang atau pasir laut.
Tapi ada satu masalah besar: ulin sangat sulit didapat. Pohonnya tumbuh sangat lambat-butuh 80-120 tahun untuk bisa ditebang. Itu sebabnya, ulin sekarang masuk dalam daftar CITES (Convention on International Trade in Endangered Species), dan ekspor ilegalnya dilarang keras. Harganya juga bisa 3-5 kali lipat lebih mahal daripada bengkirai.
Bengkirai vs Ulin: Perbandingan Langsung
| Parameter | Kayu Bengkirai | Kayu Ulin |
|---|---|---|
| Densitas (g/cm³) | 0,85-0,95 | 1,1-1,3 |
| Kekuatan tekan (kg/cm²) | 750-850 | 1.000-1.200 |
| Tahan rayap | Sangat baik | Ekstrem |
| Tahan air laut | Baik | Sangat baik |
| Harga per m³ (2025) | Rp 8-12 juta | Rp 30-45 juta |
| Ketersediaan | Stabil, banyak di Kalimantan | Terbatas, hampir tidak tersedia legal |
| Lama tumbuh hingga siap tebang | 40-60 tahun | 80-120 tahun |
Angka-angka ini bukan dari buku teks. Ini data dari pengalaman lapangan di proyek-proyek jembatan di Kalimantan Timur dan konstruksi rumah panggung di pesisir. Di banyak kasus, proyek yang memakai ulin justru gagal karena sulit diproses. Pekerja butuh alat khusus, waktu lebih lama, dan biaya tenaga kerja melonjak. Bengkirai, meski sedikit lebih lemah, jauh lebih mudah dikerjakan. Dan hasilnya? Masih tahan puluhan tahun.
Kapan Harus Pilih Bengkirai?
Jika kamu membangun rumah, teras, atau jembatan kecil di daerah lembap seperti Samarinda, bengkirai adalah pilihan paling masuk akal. Tidak perlu bayar mahal untuk kekuatan yang tidak kamu butuhkan. Bengkirai cukup kuat untuk menahan beban rumah dua lantai, tahan terhadap hujan tropis, dan tidak mudah retak saat terkena sinar matahari langsung.
Banyak pengrajin di Pontianak dan Banjarmasin lebih suka bengkirai untuk membuat perabot tahan lama seperti meja makan atau rak buku. Kenapa? Karena bisa diolah dengan mesin biasa, tidak butuh paku khusus, dan hasil akhirnya tetap bagus tanpa finishing berlebihan.
Kapan Harus Pilih Ulin?
Ulin hanya masuk akal jika kamu membangun sesuatu yang benar-benar ekstrem. Contohnya: dermaga laut, tiang jembatan yang terendam air asin, atau konstruksi di daerah dengan risiko banjir ekstrem. Di sini, kekuatan ekstra dan ketahanan terhadap degradasi biologis jadi penentu utama.
Tapi ingat: jika kamu membeli ulin hari ini, pastikan kamu punya sertifikat legal dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kayu ulin ilegal tidak hanya berisiko hukum, tapi juga merusak ekosistem hutan. Banyak proyek besar di Indonesia sekarang justru mengganti ulin dengan komposit kayu rekayasa atau bengkirai yang sudah diimpor dari hutan berkelanjutan.
Apa yang Lebih Baik: Bengkirai atau Alternatif Modern?
Beberapa tahun terakhir, muncul kayu komposit dan kayu rekayasa seperti LVL (Laminated Veneer Lumber) atau HPL (High-Pressure Laminate) yang menjanjikan kekuatan setara kayu keras. Tapi di Indonesia, khususnya di daerah dengan kelembapan tinggi dan suhu panas, belum ada bahan sintetis yang bisa menggantikan bengkirai sepenuhnya.
Kayu komposit bisa retak karena perubahan suhu ekstrem. LVL bisa melengkung jika tidak diinstal dengan benar. Sementara bengkirai? Ia menyesuaikan diri dengan iklim. Tidak perlu perawatan khusus, tidak perlu cat anti-rayap, dan tetap kuat bahkan setelah 30 tahun.
Di proyek rumah adat Dayak di Kalimantan, mereka masih memilih bengkirai. Bukan karena tidak tahu teknologi modern, tapi karena mereka tahu: ini yang paling andal.
Bagaimana Memilih Kayu Bengkirai yang Benar?
Jangan terkecoh oleh harga murah. Kayu bengkirai palsu atau yang sudah terlalu lama disimpan bisa rapuh. Cek tiga hal ini:
- Warna inti kayu: Coklat kekuningan pekat, bukan pucat atau keabu-abuan.
- Beratnya: Angkat satu balok. Jika terasa sangat berat untuk ukurannya, itu pertanda padat dan berkualitas.
- Warna potongan: Potong sedikit di ujung. Jika seratnya rapat, tidak berlubang, dan tidak ada jamur, itu kayu bagus.
Lebih baik beli dari toko yang punya sertifikat dari Kementerian Kehutanan dan bisa menunjukkan asal kayu. Di Samarinda, ada beberapa toko yang hanya menjual kayu dari hutan yang dikelola secara berkelanjutan. Mereka tidak murah, tapi kamu tidak akan menyesal.
Perawatan Kayu Bengkirai: Perlu Tidak?
Tidak perlu. Itu bukan mitos. Kayu bengkirai tidak perlu dicat, dioli, atau diaplikasi bahan kimia. Jika kamu membiarkannya alami, ia akan berubah warna jadi abu-abu perak-tapi tetap kuat. Banyak rumah di Kalimantan yang membiarkan bengkirai tanpa perawatan, dan setelah 40 tahun, tiangnya masih utuh.
Tapi jika kamu ingin tampilan lebih modern atau ingin memperpanjang umur di area yang sering terkena air hujan, kamu bisa oleskan minyak kayu alami sekali setiap 2-3 tahun. Jangan pakai cat berbahan kimia keras. Itu malah bisa membuat kayu retak lebih cepat.
Kenapa Banyak Orang Keliru Soal Kayu Terkuat?
Karena mereka mengukur kekuatan hanya dari berat. Tapi kekuatan sejati bukan soal berapa kilogram kayu itu, tapi seberapa lama ia bertahan dalam kondisi nyata. Ulin memang lebih berat. Tapi bengkirai lebih seimbang: kuat, mudah diproses, tersedia, dan ramah lingkungan.
Di dunia konstruksi, yang paling dicari bukan yang paling kuat. Tapi yang paling andal dalam konteks nyata. Dan di Indonesia, bengkirai adalah jawabannya.
Kayu bengkirai lebih kuat dari kayu jati?
Ya, jauh lebih kuat. Kayu jati punya densitas sekitar 0,6-0,7 g/cm³, jauh lebih ringan dari bengkirai yang mencapai 0,95 g/cm³. Jati lebih tahan terhadap serangan jamur, tapi tidak sekuat bengkirai dalam menahan beban berat atau benturan. Jati cocok untuk perabot, bengkirai untuk struktur.
Bisakah kayu bengkirai dipakai untuk lantai rumah?
Sangat cocok. Banyak rumah modern di Kalimantan dan Sulawesi menggunakan bengkirai sebagai lantai karena tahan gores, tidak licin saat basah, dan tidak mudah melengkung. Harganya lebih terjangkau daripada kayu eksotis impor, dan awet hingga 50 tahun.
Apa bedanya kayu bengkirai dan kayu meranti?
Meranti itu keluarga kayu ringan, densitasnya hanya 0,4-0,6 g/cm³. Banyak dipakai untuk dinding atau plafon. Bengkirai adalah kayu berat, untuk struktur utama. Meranti bisa retak dalam 10-15 tahun di luar ruangan, sementara bengkirai bisa bertahan 3-5 kali lebih lama.
Apakah kayu bengkirai ramah lingkungan?
Jika diambil dari hutan yang dikelola secara berkelanjutan, ya. Pohon bengkirai tumbuh lebih cepat daripada ulin, dan banyak perusahaan sekarang menanam ulang setelah tebang. Pilih yang bersertifikat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk memastikan keberlanjutan.
Di mana bisa beli kayu bengkirai berkualitas di Kalimantan?
Di Samarinda, Banjarmasin, dan Balikpapan, ada banyak toko kayu yang menjual bengkirai bersertifikat SVLK. Hindari pasar tradisional yang tidak bisa menunjukkan dokumen asal kayu. Toko yang terpercaya biasanya memiliki gudang besar, bisa menunjukkan batch kayu, dan punya katalog harga resmi.
Jika kamu sedang membangun sesuatu yang akan bertahan lama, jangan terjebak pada mitos "yang paling berat = yang terkuat". Di dunia nyata, kekuatan sejati adalah ketahanan, ketersediaan, dan kemudahan penggunaan. Dan untuk itu, kayu bengkirai adalah pilihan yang paling masuk akal di Indonesia.