Pohon ulin bukan sekadar kayu mahal. Ia adalah kekuatan alam yang tahan terhadap serangan serangga, cuaca ekstrem, dan bahkan air laut. Di Kalimantan, kayu ini pernah menjadi tulang punggung bangunan rumah, jembatan, dan dermaga. Tapi sekarang, semakin sulit menemukannya di hutan aslinya. Mengapa pohon ulin terancam punah? Jawabannya bukan hanya soal penebangan liar-ada lebih banyak faktor yang saling terkait, dan semuanya berdampak pada harga, ketersediaan, dan masa depannya.
Deforestasi besar-besaran di Kalimantan
Hutan Kalimantan adalah rumah utama pohon ulin. Tapi sejak tahun 1990-an, lebih dari 30% hutan primer di Kalimantan telah hilang. Kebanyakan karena perluasan lahan perkebunan kelapa sawit, pertambangan batubara, dan pembukaan jalan akses. Ulin tumbuh sangat lambat-butuh 80 hingga 120 tahun agar bisa dipanen. Sementara hutan yang ia tinggali dihancurkan dalam hitungan bulan. Pohon dewasa yang masih tersisa kini hanya ada di kawasan yang sulit dijangkau, atau di dalam kawasan konservasi yang terbatas.
Sebuah studi dari Universitas Lambung Mangkurat tahun 2023 menunjukkan bahwa populasi pohon ulin dewasa di Kalimantan Selatan turun 68% dalam dua dekade terakhir. Di daerah yang dulunya padat pohon ulin, seperti Kabupaten Tanah Bumbu, sekarang hampir tidak ada lagi pohon berdiameter lebih dari 1 meter. Yang tersisa adalah pohon muda yang belum siap tebang, atau batang-batang yang sudah rusak karena kebakaran hutan.
Penebangan liar dan perdagangan gelap
Kayu ulin punya nilai ekonomi tinggi. Harganya bisa mencapai Rp15 juta per meter kubik di pasar domestik, dan lebih dari Rp25 juta jika diekspor ke Jepang atau Eropa. Itu membuatnya jadi sasaran empuk para pembalak liar. Mereka masuk ke hutan lindung, mengambil pohon dewasa, lalu menyembunyikan kayunya di antara muatan kayu legal lainnya. Sistem perizinan yang lemah dan pengawasan yang minim mempermudah praktik ini.
Di pelabuhan seperti Banjarmasin dan Samarinda, petugas bea cukai sering menemukan kontainer yang menyembunyikan kayu ulin di balik label kayu pinus atau meranti. Tahun 2024, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengungkapkan bahwa 40% dari total ekspor kayu ulin yang tercatat sebenarnya berasal dari penebangan ilegal. Artinya, hampir setiap dua dari lima kayu ulin yang dijual di luar negeri adalah hasil pencurian hutan.
Perubahan iklim dan kebakaran hutan
Pohon ulin butuh kondisi hutan lembap dan stabil. Tapi sekarang, musim kemarau semakin panjang dan ekstrem. Di Kalimantan Timur, kebakaran hutan tahun 2023 membakar lebih dari 120.000 hektar hutan, termasuk area yang menjadi habitat ulin. Pohon dewasa bisa bertahan, tapi anakannya mati karena tanah menjadi terlalu kering dan asap menghambat fotosintesis.
Penelitian dari Badan Litbang KLHK tahun 2024 menemukan bahwa tingkat keberhasilan regenerasi ulin turun 75% di area yang terbakar. Bahkan di kawasan yang tidak terbakar, suhu rata-rata tahunan naik 1,2°C sejak 2000. Ini mengganggu siklus reproduksi alami pohon ulin-bunga yang seharusnya mekar di musim hujan jadi tidak sempurna, dan bijinya gagal tumbuh.
Minimnya upaya reboisasi dan konservasi
Beberapa perusahaan kayu pernah mencoba menanam ulin kembali. Tapi hasilnya buruk. Ulin butuh tanah yang sangat spesifik-kaya humus, drainase baik, dan tidak tergenang. Di lahan bekas tambang atau sawit, pohon ini hampir tidak bisa bertahan. Program reboisasi pemerintah pun lebih fokus pada pohon cepat tumbuh seperti jati atau akasia, yang lebih mudah dipasarkan dan cepat menghasilkan keuntungan.
Di Taman Nasional Kutai, satu-satunya kawasan konservasi besar yang melindungi ulin, hanya sekitar 2.000 pohon dewasa yang tercatat. Dan itu pun tidak semuanya sehat. Sebagian besar terkena serangan jamur atau kerusakan akibat akar pohon lain yang tumbuh terlalu dekat. Tanpa program pemulihan aktif, seperti pemindahan bibit ke area yang aman atau penanaman di bawah naungan pohon lain, ulin tidak akan bisa pulih sendiri.
Dampak pada industri dan ekonomi lokal
Ketika pohon ulin langka, harga langsung melonjak. Tahun 2020, harga kayu ulin per meter kubik sekitar Rp8 juta. Sekarang, hampir semua penjual mematok harga di atas Rp14 juta-dan bahkan lebih tinggi jika kayu itu berasal dari hutan yang dianggap ‘asli’ atau ‘tua’. Tapi bukan hanya pembeli yang kena dampak. Tukang kayu, pengrajin, dan usaha kecil yang bergantung pada ulin pun terpaksa beralih ke kayu alternatif yang kurang tahan lama.
Di Pontianak, ada puluhan bengkel yang dulu khusus membuat jembatan dan tiang dermaga dari ulin. Sekarang, mereka harus pakai kayu merbau atau kempas, yang harganya lebih murah tapi cepat lapuk jika terkena air laut. Beberapa sudah tutup. Yang lain beralih ke beton-tapi biayanya lebih tinggi dan tidak ramah lingkungan.
Apakah masih ada harapan?
Ya, tapi hanya jika tindakan dilakukan sekarang. Pemerintah sudah memasukkan ulin ke dalam daftar CITES Appendix II sejak 2016, yang berarti ekspor harus disertai izin ketat. Tapi ini saja tidak cukup. Kita butuh:
- Penegakan hukum yang konsisten terhadap penebangan liar, termasuk sanksi pidana bagi pelaku dan pengangkut.
- Program reboisasi khusus ulin di lahan yang layak, dengan pendampingan ilmiah.
- Penghargaan bagi masyarakat adat yang melindungi hutan ulin-bukan hanya larangan, tapi insentif nyata.
- Alternatif material yang lebih tahan lama untuk mengurangi ketergantungan pada ulin, seperti komposit kayu-plastik yang sudah terbukti tahan air dan serangga.
Ulin bukan hanya kayu. Ia adalah bagian dari identitas Kalimantan. Ia adalah kekuatan yang menahan banjir, menyimpan karbon, dan menjadi rumah bagi ratusan spesies. Jika kita kehilangannya, kita tidak hanya kehilangan bahan bangunan. Kita kehilangan warisan alam yang tidak bisa diganti.
Bagaimana Anda bisa membantu?
Jika Anda membeli kayu ulin, tanyakan asalnya. Minta sertifikat legal dari KLHK. Jangan percaya janji ‘kayu ulin murah’-itu hampir pasti ilegal. Dukung produk yang menggunakan bahan alternatif. Dan jika Anda tinggal di Kalimantan, bergabunglah dengan kelompok masyarakat yang memantau hutan. Ulin tidak akan selamat hanya karena pemerintah bertindak. Ia butuh kesadaran dari setiap orang yang menggunakannya.
Berapa lama pohon ulin butuh untuk tumbuh hingga siap tebang?
Pohon ulin butuh waktu 80 hingga 120 tahun untuk mencapai ukuran siap tebang. Ini membuatnya sangat rentan terhadap penebangan berlebihan, karena tidak bisa cepat diperbarui seperti pohon lain.
Apakah kayu ulin masih bisa dibeli secara legal?
Ya, tapi sangat terbatas. Kayu ulin legal hanya berasal dari hutan tanaman industri yang sudah mendapat izin dari KLHK, atau dari penebangan terbatas di kawasan konservasi dengan pengawasan ketat. Sertifikat CITES dan dokumen asal harus selalu tersedia.
Mengapa kayu ulin lebih mahal daripada kayu lain?
Kayu ulin lebih mahal karena kepadatannya yang tinggi, daya tahan alami terhadap rayap dan air laut, serta kelangkaannya. Produksinya sangat lambat dan pasokannya terbatas, sementara permintaan tetap tinggi, terutama untuk konstruksi tahan lama.
Apa alternatif terbaik untuk kayu ulin?
Alternatif terbaik saat ini adalah komposit kayu-plastik (WPC), yang tahan air, serangga, dan tidak memerlukan perawatan rutin. Beberapa jenis kayu lokal seperti merbau dan kempas juga bisa digunakan untuk struktur non-maritim, meski tidak sekuat ulin.
Apakah penebangan ulin sudah dilarang total di Indonesia?
Tidak dilarang total, tapi sangat dibatasi. Penebangan alami dari hutan alam dilarang. Hanya penebangan dari hutan tanaman industri yang diizinkan, dan harus melalui proses verifikasi ketat oleh KLHK dan CITES.